Ikhtiar ku.

Ya Allah, Selamatkanlah aku dari orang-orang baik serta pandai akalnya
yang menemukan ilmu dari hasil pemikirannya sendiri, dekatkanlah Aku pada-Mu.

Ya Allah, aku percaya bahwa ketika aku berbicara
dan mengakui sesuatu tentang diriku di ruang terbuka adalah sebuah kebohongan dari mulut ku.
dan,
tidak pantas bagi mulutku untuk menceritakan kebaikan yang kuperbuat, dan
tidak cukup bagi mulutku untuk membela diriku sendiri.
Sungguh Allah SWT Maha Melihat dan aku berserah diri pada-Nya.

Ya Allah, Saksikanlah.

Saya Orang lewat.

Kamu akhirnya tidak berdiam,
kamu berkembang biak dalam kepala saya
menjadi sebuah kisah yang biasa saya tulis disini,
entah saya bingung di bagian mana,
tapi saya yakin, saya sungguh sulit untuk menjabarkan entah saya sakit sekali
atau kebingungan sekali,
tapi lebih dari itu, saya sampai pada sebuah pernyataan bahwa saya hanya cemburu.
tidak terlalu sakit, tapi amat penasaran.
Saya menyisihkan kamu, di pinggiran trotoar dalam lampu-lampu redup.
dan tidak singgah lagi kesana.
Dan, sebagai laki-laki yang menjunjung harga diri nya, jelas saya selalu mencoba melihat kamu dalam bingkai yang lain agar mata kita tidak bertemu. saya singgah pada tiap-tiap titik buta mu.


Ngg egois? bukan, saya hanya tidak pernah suka terlalu serius dan dalam.
kelanjutan dari itu tidak ada, lebih jelas lagi mungkin ada, lebih jelas lagi saya hanya seorang penakut yang hidup dalam sangkar stigma dan bayangan yang saya buat sendiri.
Saya tidak bergerak? mungkin iya.

Lalu sampai bagian ini, siapa orang jahat nya?

But as always, you're gonna be the one that saves me.

Jalan saja;

Setelah saya fikirkan baik-baik,
saya akhirnya setuju bahwa kamu tidak bisa binasa.
Kamu hidup dalam tiap-tiap cerita yang saya buat,
Tersenyum dan menari di antara kalimat-kalimat saya,
seperti duduk di seberang meja komputer dan
menyeduhkan segelas kopi hitam yang pahit,
kamu memberi energi aneh yang sangat memuakkan.

Hoo, jangan salah paham. saya tidak lagi marah,
seperti kamu yang tidak lagi sadar bahwa sesuatu bisa salah,


lalu setelah semua gumpalan rindu yang pada akhirnya sampai?
seperti apa sebuah realitasnya?

Bukankah menarik bermain di antara ruang yang membuat kita takut melangkah?




Jemawa

apakah kelak ketika sudah tiba di umur 50, masih juga menyimpan maaf sendiri?

apa saat itu sudah tahu caranya memanusiakan- Manusia?

apakah tahu saat itu kamu sudah menjadi seperti Piccaso, atau seperti Lukisan Piccaso?

apakah sudah pernah jumpa pada hening pintu kecewa dan meragu pada rasa Percaya?

apa saat itu sudah tahu jawabannya saat dirimu di beri nilai tidak tahu caranya bersyukur?

apa sudah tahu jawaban dari: Seorang Pemimpin tidak bisa salah?

dan,

apa saat itu kamu sudah Bahagia?
.
.

Bila menjadi kaya dan dapat membeli
semua hal yang saya cita-cita kan, tetapi
saat itu saya hanya seonggok daging
yang tak bermoral. Tolong.....

Segerakan saya mati saja.

Saya tak sudi bila tetap hidup saat itu.
.
.

Saya takut sekali, bila kelak
saya tak bisa memanusiakan- Manusia. maka
Biarlah raga pada daging yang menggumpal ini
segera dilapisi kain putih, dan
jadi mangsa ulat-ulat tanah.
.
.
.


Saya menulis ini karna kecanduan lagu nya Oasis- Champagne Supernova, Lagu ini seperti magis, yang memberi tenang darah saat meletup karna takut. Apa saya akan berubah esok?

Laju


3.

Aku mengendap, di tempat
paling bawah dalam gelas.
di antara butiran legam remah biji kopi

mendongak tak lepas pandang mata
tiap sesapan, di bibir gelas
Bagaimana rasanya,
Apa rasa itu yang kamu cari?

lalu, Sore mengisi tanpa gerimis.
penuh jingga mengiris lebar-lebar langit.
Apa hari mu menyenangkan barusan?
Menyangsikan gurau dari tiap tiap
sulaman, para pemilik suara.

**


5.

Bila kelak satu bingkis
karangan bunga tidak bisa membuat matamu berbinar, dan
mulutmu mengatup lepas, akhirnya
ternyata kita sudah tidak sama.

Mari tersenyum atau
membenci saja sesudahnya, kita
yang pernah mencinta
dan rapalan rindu tiap tengah malam
Tidak mundur lagi dengan pilihan.


**


7.

Apakah laki-laki
yang pergi tanpa berpamit,
tidak boleh punya, kesempatan untuk menyapa?

ah iya, dusta. 
Itu tidak hanya singgah
untuk menyapa.

Bagaimana dengan
mengaku; Aku
sungguh-sungguh mencinta?

apakah aku yang pergi
sudah tidak lagi sama? atau
Kamu yang sudah tidak lagi sama?


**


11.


Senja Abadi, jingga yang
menabur seisi mata yang
berjalan setapak kaki sebelum
suara bilal mengingatkan.

Menjaga garis, di antara
dipan besi di seberang taman.
Sungging senyum selalu sama, bahwa
bahagia adalah bahagia yang kamu tularkan.
Aku bahagia melihat kamu berbahagia.





Sadajiwa

Pada lebat belantara kota
Sepi dan sendu, ku lagukan merdu
Pada semua gurau yang menguap menyisakan parau
kusertakan rayuan yang masih malu-malu

Pada lirik-lirik yang ragu ini
Rindu tetap melaju
menyeruput telingamu penuh seru
Pada setiap waktu yang berlalu dalam jemu
biarkan semua suara tetap merdu.

***


Kalinda yang mengiris arnawama kala senja
dalam sisihan bulir rintik mengecup bumi
merambat rindu pada kecup-kecupnya
meronta- 

memaafkan dendam


Pintu tidak lagi sama,
tidak mengeser dan ada
Apakah barisan awan senja tetap sedia kala,
dalam penantian purnamanya.


Jaya A. Saputra.








Nb: Credit poems to Jingga in Opening Song Tidurlah by Payung Teduh Yamaha Music Live and Loud. Beli CD nya ya, jangan kayak saya malah ngambil di yutub.
Dan, Saya kehabisan inspirasi dan sedang sibuk sendiri diujung selasar gelap, jadi mungkin ini obrolan terakhir untuk tiap-tiap Penikmat yang ingin memastikan sesuatu atau hanya lewat.
Mari, sehat selalu ya. :)





Saya kehabisan rasa.

Aku tidak tahu mengapa, aku
merasa agak melankolik sekali malam ini
menginjak pedal dikaki pelan-pelan
menyesap menyusuri jalanan.

Disini, terasa sakit sekali.
Bahwa aku benar-benar sampai hati.
Membiarkan kamu lalu orang setelahnya
hanya duduk meratapi jalanan dalam
kotak beroda.

Lalu tiba didepan dari sana seorang raja,
yang didekap pelan oleh ayahnya, di antara
senyap dingin berdesir angin mengiris rusuk,
menggenggam botol susu dingin dalam
pakaian lusuh debu, diantara
dahi pipi- siku nya legam hitam.

Di sini terasa sakit sekali,
Bahwa aku tidak punyai muka menemui
mereka dan bersunggut meminta ampun.
Nuraniku meronta, menyobek hening diantara
kaca legam tembus suara.

Tolong maafkan, maafkan
kami semua yang tidak punyai muka.
Pada kamu, yang tidak lupa tidak meminta dikasihani tatapannya.
Aku besertamu, kaki-kaki kokoh yang mengiris trotoar membeku.