Batas.
Tubuhku Museum
Pagi sebetulnya tidak memanggil nama siapa pun
namun tiba-tiba tubuhku yang terbangun. Berjalan
menuju kamar mandi yang dingin — menemui keran
air lagi, sikat dan pasta gigi, cermin yang sama, juga
busa sabun dan ketelanjangan
namun tiba-tiba tubuhku yang terbangun. Berjalan
menuju kamar mandi yang dingin — menemui keran
air lagi, sikat dan pasta gigi, cermin yang sama, juga
busa sabun dan ketelanjangan
diri.
Aku sekali lagi menyadari kesedihan: tubuhku
telah diresmikan jadi sebuah museum yang sepi.
Lukisan repro hitam putih, lemari berisi pakaian
lama susah rapi, juga piano tua yang lupa cara
bernyanyi. Tetapi
telah diresmikan jadi sebuah museum yang sepi.
Lukisan repro hitam putih, lemari berisi pakaian
lama susah rapi, juga piano tua yang lupa cara
bernyanyi. Tetapi
......
M. Aan Mansyur
***
Asura
Aku kembali pada kursi yang sama,
diantara meja lebar berwarna coklat tua'
yang dikelilingi layar dan mesin ketiknya
kadang waktu penuh sekali tempat abu,
**
Aku, suci sekali.
Tidak ingin kamu apa-apa lagi,
Tidak ingat janji dan cita-cita apa teruntuk kamu
pula, tidak tahu kenapa jemari saya masih mencari kamu.
saya tidak ingat, kamu itu siapa?
Tapi saya ingat, saya membenci mu. Sungguh sangat.
saya ingat bagaimana saya harus bangun sendiri kala pagi memanggil,
lalu menolak apa-apa yang disebut indah,
dan, menginginkan janji Tuhan seperti rantai.
Saya ingat bagaimana tubuh ini merasa kotor sekali,
seperti ternoda rusak, tanpa pinggiran, lalu dibiarkan hina.
saya ingat bagaimana kepala saya memainkan egonya,
diiringi lisan yang kasar merapal benci sesumbar bercerita sendiri.
Sampai bait ini, saya tidak puas sama sekali.
entahlah, bahkan demi agama saya, saya urung menjabat tangan.
saya tersiksa sekali, bahkan demi kalimat-kalimat bijak,
nan indah dari ratusan manusia yang berbicara pesoal memaafkan;
Saya tidak perduli.
**
Rahwana pada Dorna
saya ingin puisi, yang ketika selesai menulisnya-
yang dapat merobek mata hingga
sampai kerongkongan, lalu haus
karna kekeringan kata.
yang dapat merobek mata hingga
sampai kerongkongan, lalu haus
karna kekeringan kata.
Jangan bungkam, memaki lah karena
tidak puas sama sekali, dan merunut
dengan pembelaan-pembelaan manusiawimu. Kemudian
tidak puas sama sekali, dan merunut
dengan pembelaan-pembelaan manusiawimu. Kemudian
saya menyebut itu sampah, makhluk lemah.
Saya masih lagi sosok yang mampu merusak
hanya karna sebilah aksara, tolong benci saya
dengan nafas yang tersengal-sengal,
dengan nafas yang tersengal-sengal,
lalu puas raga karna kamu tidak abu-abu.
Jangan kemana-mana,
saya belum puas mencabik-cabik kamu.
saya belum puas mencabik-cabik kamu.
bahkan pada air yang berderai pada
pipi yang mengembang itu pun, saya
tetap akan sampai hati.
pipi yang mengembang itu pun, saya
tetap akan sampai hati.
Diam, dan kemudian kamu akan
binasa dalam fikiran saya.
binasa dalam fikiran saya.
diujung, Ego yang akhirnya mati juga.
dan, diantara meja- kursi
yang dingin saya menyeret kaki sendiri-
yang dingin saya menyeret kaki sendiri-
pergi diantara meja kamu, dalam duduk
yang tegap sembari bersandar lalu ingin
menampar memelototi punggung menjauh saya,
di antara semesta panas payah terik.
yang tegap sembari bersandar lalu ingin
menampar memelototi punggung menjauh saya,
di antara semesta panas payah terik.
Kamu tidak bisa binasa.
![]() |
| Is it as simple and as easy as this by Ivan Sagita. |

0 komentar:
Posting Komentar